Analisis Siklus Hidup (LCA) Mobil Listrik di Indonesia: Apakah Benar-benar Ramah Lingkungan? | EVCar.id

Analisis Siklus Hidup (LCA) Mobil Listrik di Indonesia: Apakah Benar-benar Ramah Lingkungan? | EVCar.id

Analisis Siklus Hidup (LCA) Mobil Listrik di Indonesia: Apakah Benar-benar Ramah Lingkungan?

Ditulis oleh EVCar.id — Diperbarui: 2 November 2025

Mobil listrik (EV) sering dipuji sebagai solusi mobilitas rendah emisi. Namun untuk menjawab apakah EV benar-benar ramah lingkungan, kita perlu melihat seluruh siklus hidupnya — mulai dari ekstraksi bahan baku, produksi kendaraan dan baterai, fase penggunaan (termasuk sumber listrik untuk pengisian), sampai akhir masa pakai dan daur ulang. Analisis Siklus Hidup (Life Cycle Analysis / LCA) menyediakan kerangka kerja untuk menilai semua tahap ini secara holistik.

Apa yang dinilai dalam LCA kendaraan listrik?

LCA untuk EV umumnya membagi siklus menjadi beberapa tahap utama:

  • Ekstraksi & bahan baku: penambangan nikel, kobalt, litium, dan material lain untuk baterai serta bahan untuk bodi kendaraan.
  • Produksi & manufaktur: energi dan proses pabrikasi kendaraan dan baterai.
  • Distribusi & logistik: transportasi unit dan komponen ke titik penjualan.
  • Fase penggunaan: emisi dari pengisian listrik selama masa pakai (bergantung pada intensitas emisi listrik jaringan).
  • Akhir masa pakai: pengelolaan baterai (daur ulang, second life), serta pembuangan kendaraan.

Faktor penentu utama: emisi produksi baterai dan sumber listrik pengisian

Dua faktor yang paling menentukan hasil LCA EV adalah:

  1. Emisi produksi baterai: pembuatan baterai umumnya menambah emisi awal (upfront emissions) dibanding kendaraan internal combustion engine (ICE) sejenis.
  2. Emisi listrik jaringan saat pengisian: jika listrik berbasis batu bara (intensitas emisi tinggi), maka pengoperasian EV menghasilkan lebih banyak emisi dibanding jika listriknya berbasis energi terbarukan.

Bagaimana situasi Indonesia mempengaruhi LCA EV?

Di Indonesia, profil listrik masih sebagian bergantung pada bahan bakar fosil, meski proporsi energi terbarukan terus meningkat. Akibatnya, keuntungan emisi dari EV terhadap ICE sangat bergantung pada lokasi dan waktu pengisian. Di wilayah dengan bauran energi yang lebih bersih (mis. jaringan yang mendapat pasokan PLTA, tenaga surya terintegrasi), EV menunjukkan pengurangan emisi yang signifikan selama masa pakai. Di wilayah yang bergantung pada pembangkit batubara, perbedaan manfaatnya bisa lebih kecil, terutama dalam jangka pendek.

Catatan: perbandingan akhir antara EV dan ICE bergantung pada asumsi yang dipakai — termasuk ukuran baterai, usia pemakaian kendaraan (km total), efisiensi kendaraan, dan intensitas emisi listrik lokal.

Contoh ilustratif perhitungan LCA sederhana (asumsi untuk menjelaskan konsep)

Berikut contoh ilustratif yang menunjukkan bagaimana perhitungan sederhana dapat dibuat. Angka ini hanyalah asumsi contoh untuk menjelaskan metode—bukan estimasi definitif untuk semua model atau wilayah.

Asumsi ilustratif

  • Baterai EV: 50 kWh (kapasitas nominal).
  • Emisi produksi baterai: 100 kg CO₂e per kWh (asumsi illustratif).
  • Emisi produksi kendaraan (selain baterai): 6.000 kg CO₂e.
  • Intensitas emisi jaringan listrik tempat pengisian: 600 g CO₂/kWh (0.6 kg CO₂/kWh) — contoh untuk jaringan yang masih beremisi tinggi.
  • Efisiensi pemakaian: EV mengonsumsi rata-rata 0.18 kWh per km.
  • Masa pakai kendaraan: 200.000 km.

Langkah perhitungan (digit-per-digit sesuai asumsi)

  1. Emisi produksi baterai = kapasitas baterai × emisi produksi per kWh. = 50 × 100 kg CO₂e. Hitung: 50 × 100 = 5 000 kg CO₂e.
  2. Total emisi produksi kendaraan = emisi baterai + emisi manufaktur lain. = 5 000 + 6 000 = 11 000 kg CO₂e.
  3. Energi listrik total digunakan selama masa pakai = konsumsi per km × total km. = 0.18 kWh/km × 200 000 km. Hitung: 0.18 × 200 000 = 36 000 kWh.
  4. Emisi penggunaan (pengisian) = energi total × intensitas emisi jaringan. = 36 000 kWh × 0.6 kg CO₂/kWh. Hitung: 36 000 × 0.6 = 21 600 kg CO₂e.
  5. Emisi siklus hidup total EV = emisi produksi + emisi penggunaan. = 11 000 + 21 600 = 32 600 kg CO₂e (atau 32,6 t CO₂e) selama 200 000 km.
  6. Emisi per km EV = 32 600 kg / 200 000 km. Hitung: 32 600 ÷ 200 000 = 0.163 kg CO₂/km (163 g CO₂/km).

Kesimpulan ilustratif: pada asumsi di atas (jaringan karbon-intensif 0.6 kg CO₂/kWh), EV menghasilkan sekitar 163 g CO₂/km. Untuk membandingkan, sebuah mobil bensin modern dengan efisiensi rata-rata mungkin memiliki emisi ekivalen sekitar 180–240 g CO₂/km (tergantung model dan kondisi). Dengan demikian, pada skenario ini EV tetap lebih rendah, namun margin pengurangan bergantung besar pada intensitas emisi jaringan dan asumsi manufaktur.

Peran daur ulang dan second-life baterai

Daur ulang baterai dan pemanfaatan second-life (menggunakan baterai bekas EV untuk penyimpanan stasioner) dapat mengurangi dampak LCA secara signifikan. Mengurangi kebutuhan bahan baku primer dan memperpanjang masa pakai baterai menurunkan jejak karbon per km. Oleh karena itu, kebijakan yang mendorong fasilitas daur ulang dan pemasaran second-life menjadi penting.

Rekomendasi kebijakan & praktik terbaik untuk Indonesia

  • Percepat peningkatan porsi energi terbarukan: menurunkan intensitas emisi listrik akan langsung meningkatkan manfaat lingkungan EV.
  • Dorong produksi baterai ramah lingkungan dan rantai pasok lokal: termasuk standar rendah emisi untuk produksi dan insentif teknologi baterai alternatif (mis. LFP, sodium-ion jika relevan).
  • Bangun fasilitas daur ulang & second-life: regulasi dan insentif untuk industri daur ulang meningkatkan circularity dan menurunkan emisi upstream.
  • Standar LCA nasional: merumuskan panduan LCA lokal yang menyesuaikan faktor jaringan listrik dan kondisi produksi di Indonesia agar perbandingan lebih akurat.
  • Edukasi konsumen: mendorong pengisian malam/siang yang optimal, integrasi dengan sumber energi terbarukan di rumah (surya+storage), dan praktik pemeliharaan baterai yang memperpanjang umur pakai.

Kesimpulan

Analisis siklus hidup menunjukkan bahwa mobil listrik memiliki potensi untuk mengurangi emisi dibandingkan kendaraan berbahan bakar fosil — tetapi manfaat tersebut sangat bergantung pada konteks: emisi produksi baterai, durasi pemakaian, dan terutama sumber listrik untuk pengisian. Di Indonesia, percepatan transisi ke energi terbarukan, investasi pada daur ulang baterai, dan kebijakan yang mendorong produksi bersih akan memperkuat argumen bahwa EV adalah pilihan yang lebih ramah lingkungan dalam jangka panjang.

Penulis: EVCar.id — Panduan dan analisis independen seputar kendaraan listrik di Indonesia.